The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Dalem Wuryaningratan

Dalem Wuryaningratan yang ada di Jalan Slamet Riyadi ternyata memiliki visualisasi sejarah yang cukup menarik. Pangeran Haryo Wuryaningrat adalah seorang putra Patih Sosrodiningrat yang diambil menantu oleh Paku Buwono (PB) X. Selain sebagai seorang bangsawan Kraton Kasunanan Surakarta, beliau adalah seorang pejuang dan perintis kemerdekaan. Semasa pemerintahan PB X, Wuryaningrat menjabat sebagai Bupati Nayaka Keparak Tengen (setingkat Menteri sekarang).
Dalam masa perjuangan dulu, Dalem Wuryaningrat difungsikan sebagai markas besar dan pusat kegiatan perjuangan bangsa. Ketika Pepatih Dalem KRMT Yudonagoro diculik oleh komunis, maka Wuryaningrat diangkat menjadi Pepatih Dalem pada 15 Maret 1946 namun tidak lama kemudian beliau juga diculik oleh komunis tetapi akhirnya diturunkan di daerah Gladag.


Dalem Wuryaningratan yang merupakan bangunan kuno ini berbentuk joglo yang dipengaruhi oleh bentuk arsitektur Eropa. Dari luar, bangunan itu tampak bergaya Eropa, di mana di bagian depan terdapat kanopi lengkap dengan pilar-pilar kokoh. Sebuah patung setengah badan berwajah Belanda diletakkan menghadap ke kolam. Konon, pada tahun 1890 untuk membangun rumah menantu raja secara khusus mendatangkan arsitek dari Belanda.
Bila melongok ke dalam, ternyata konsep tata ruangnya berkiblat pada konsep Jawa. Ruang paling depan berupa pendopo yang dihiasi oleh lampu gantung cantik di langit-langit ruangan.


Masuk ke dalam lagi, dijumpai ruangan besar yang disebut dalem ageng. Dahulu ruangan ini digunakan untuk sebagai ruang makan keluarga. Antara ruangan besar dan pendopo terdapat semacam pembatas dengan lantai rendah, yang biasa disebut pringgitan. Ruangan ini dulu ditata dengan kursi dan difungsikan sebagai tempat untuk menerima tamu.
Sebelum menuju dalem ageng, di sebelah kiri dan kanan dari pintu menuju dalem ageng tersebut terdapat dua ruangan di sebelah barat dan timur. Ruangan ini dahulu merupakan tempat kerja mendiang KPH Wuryaningrat.
Selain ruangan tersebut, masih ada tempat yang ada di kiri kanan dalem ageng. Letaknya simetris antara gandhok kiri dan gandhok kanan. Dahulu digunakan untuk bersantai dengan menggunakan akses khusus dari masing-masing kamar tidur.
Dulu tempat ini juga biasa digunakan oleh para dalang untuk mementaskan wayang kulit guna menghibur pemilik rumah. Sedangkan, di kiri kanan dalem ageng terdapat ruangan kecil yang berisi kamar tidur, biasa disebut senthong kulon (barat) dan wetan (timur).
Selain bangunan induk, Dalem Wuryaningrat juga memiliki sebuah paviliun yang berada di sebelah timur. Dalam sejarahnya, paviliun itu pernah dipakai KPH Wuryaningrat bersama Dr. Sutomo dan Dr. Wahidin Sudiro Husodo membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra).
Dalem Wuryaningrat semula pernah mangkrak beberapa tahun. Bangunan kuno tersebut ditumbuhi ilalang dan terkesan dibiarkan begitu saja. Namun setelah, bangunan kuno tersebut dibeli oleh Pemilik PT. Danar Hadi, Santoso Doellah, bangunan ini mengalami renovasi tanpa mengubah bentuk. Kini kondisi bangunan menjadi terawat, dan atas kreativitas Santoso Doellah bangunan ini diintegrasikan ke Museum Batik Kuno Danar Hadi yang menyimpan 15 ribu batik kuno, outlet Batik Danar Hadi bagi yang ingin membeli kenang-kenangan batik khas Solo, dan café yang menempati bekas paviliun. *** [Berbagai sumber]

Share:

Pasar Triwindu

Pasar Triwindu dikenal sebagai pusat penjualan barang antik yang ada di Surakarta atau Kota Solo. Pasar ini terletak di jantung Kota Solo, yaitu di depan Pura Mangkunegaran atau tepatnya berada di Jalan Diponegoro. Kawasan ini memang terkenal sebagai Flea Market (second hand market). Di pasar ini terdapat jenis benda-benda kuno dan antik seperti keris, arca batu, patung perunggu, fosil, lampu gantung, keris, dan lain-lain.


Pasar ini didirikan pada tahun 1939 untuk memperingati 24 tahun KGPAA Mangkunegaran VII bertahta. Oleh karena itu, pasar ini dinamakan Pasar Triwindu, yang berasal dari dua gabungan kata yaitu tri dan windu. Tri dalam bahasa Jawa berarti tiga, dan windu berarti delapan tahun. Setelah digabungkan maka triwindu memiliki arti 24 tahun.
Semula, pasar ini hanya terdiri dari sederetan meja yang berjajar untuk menjajakan jajanan pasar (kuliner), garmen, maupun majalah atau koran. Namun seiring perkembangan zaman dan makin majunya pedagang, pada tahun 1960 mereka mulai mendirikan kios-kios kecil. Lalu, lambat laun pasar ini berkembang menjadi pusat transaksi barang-barang lama.


Sejak 5 Juli 2008, pasar ini dipugar dan dibuat bangunan baru yang disesuaikan dengan arsitektur budaya Solo. Pasar itu dibuat menjadi dua lantai, sehingga kios-kios yang awalnya berhimpitan menjadi agak longgar. Sehingga, pasar ini menjadi memiliki halaman yang luas untuk parkir. Di area parkir yang luas ini sering digunakan sebagai kegiatan seni budaya, baik tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Namun sayang, semenjak dipugar menjadi megah, pasar ini berubah namanya menjadi Pasar Windujenar oleh Pemkot setempat. Padahal, merujuk pada sisi sejarah berdirinya pasar tersebut adalah untuk memperingati KGPAA Mangkunagoro VII yang telah bertahta selama 24 tahun atau istilahnya adalah triwindu. Akhirnya, pada 17 Juni 2011 nama pasar ini dikembalikan sesuai aspek historisnya, yaitu Pasar Triwindu. ***
Share:

Klenteng Poo An Kiong

Selain Klenteng Tien Kok Sie atau biasa disebut Vihara Avalokiteswara yang terletak di Pasar Gede, Solo juga memiliki vihara yang cukup tua dan memiliki sejarah yang kental, yaitu Klenteng Poo An Kiong. Nama Poo An Kiong sendiri berarti sumber keselamatan negara.
Klenteng ini terletak di Jalan Yos Sudarso No.122 Solo atau tepatnya berada di Kelurahan Jayengan, Kecamatan Serengan, Surakarta. Kelenteng Poo An Kiong didirikan pada tahun 1881 atau pada masa pemerintah Sri Paduka Paku Buwono (PB) IX.


Klenteng ini memiliki bentuk bangunan yang khas dengan bentuk atap genteng disertai ornamen-oranmen di atasnya. Warna merah merupakan warna yang mendominisir keseluruhan bangunan yang tampak, dan interior bangunnya juga. Struktur bangunan menggunakan kayu jati, terlihat pada kolom-kolom utama bangunan.
Ornamen khas Cina terlihat pada atap bangunan, yaitu bentuk yang cenderung melengkung ke atas, juga ornamen atau patung naga banyak terdapat di atap bangunan.
Bentuk bangunan secara keseluruhan belum mengalami perubahan. Namun, bangunan ini pernah disempurnakan oleh PB X dengan menyuruh salah seorang punggawa kraton untuk memosisikan Poo An Kiong sebagai tempat yang harus disakralkan.


Bukti lain jika Poo An Kiong sebagai tempat yang dianggap sakral, dan penting keberadaannya adalah adanya dua pilar raksasa sebagai penyangga utama berdirinya klenteng. Karena di pilar tersebut tertera tulisan berhuruf Kanji dengan bahasa Mandarin, yang menyebutkan adanya keharmonisan antara etnis Jawa dan Tionghoa.
Seperti tulisan sudah sejak ribuan tahun silam, para dewa melindungi tanah Jawa di pilar sebelah kanan. Sedangkan pilar di sebelah kiri, tulisannya kurang lebih berarti, dengan sepenuh hati kami akan melindungi keselamatan masyarakat Solo.
Pilar itu diperkirakan ada sejak awal berdirinya klenteng. Hal itu jika ditinjau dari serat kayu dan motifnya yang merupakan motif kayu kuno. Selain itu, Poo An Kiong sendiri sama sekali belum mengalami pemugaran yang cukup berarti, baik secara oranamen maupun interior. Lukisan dan ornamennya pun terbilang unik, karena merupakan campuran gaya pesisiran, Jawa. Dan Tionghoa di sekitar abad 16 M.
Meski merupakan tempat ibadah Tri Dharma/Sam Kouw (Budha, Konghucu, dan Tao), namun Poo An Kiong juga merupakan kajian budaya Tionghoa. Artinya, siapa pun masyarakat terlepas apapun keyakinan dan sukunya, boleh belajar budaya tradisi Tionghoa di sana. ***
Share:

Kantor Bondo Lumakso

Kantor Bondo Lumakso terdapat di luar tembok Kraton Kasunanan Surakarta. Awalnya, Kantor Bondo Lumakso didirikan pada tahun 1901, menempati salah satu ruangan yang ada di Societet  Habiproyo yang terletak di Jalan Singosaren (sekarang menjadi Jalan Gatot Subroto), tepatnya berada di sebelah utara Plasa Singosaren (Matahari Singosaren) atau termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Kemlayan Kecamatan Serengan, Surakarta.


Namun, pada tahun 1917 Bondo Lumakso dipndahkan ke gedung sendiri yang berada di Jalan Untung Surapati No. 4 RT.04 RW.03 Kedunglumbu, Pasar Kliwon, Surakarta, tepatnya berada di belakang Kantor Polsek Pasar Kliwon atau sebelah timur Sitihinggil Alun-Alun Utara.
Kantor ini dibangun sebagai bank dan tempat untuk menggadaikan barang bagi masyarakat di lingkungan tembok kraton (Baluwarti) maupun masyarakat pada umumnya. Tujuannya utamanya pada saat itu sebagai upaya mencegah maraknya praktek rentenir yang dilakukan oleh etnis Tionghoa pada saat itu.
Ciri-ciri bangunan kolonial juga terdapat pada bangunan ini. Hal tersebut terlihat jelas pada pintu masuk utama bangunan ini, yaitu dengan digunakannya kolom-kolom tinggi, dan pintu serta jendela berukuran besar. Pada bagian atas dari atap kanopi terdapat ornamen dan lambang Kraton Kasunanan Surakarta.
Kini, Kantor Bondo Lumakso akan dijadikan Stasiun Radio PP dengan semboyan "Inovatif Berbudaya", yang akan mengudara di frekuensi 8,19 AM Stereo. ***



Share:

Riwayat Hidup R. Ng. Yosodipuro I

R. Ng. Yosodipuro I masih memiliki garis keturunan dari Kerajaan Pajang. Beliau adalah putra dari pasangan Raden Tumenggung (R.T.) Padmonegoro dan Siti Mariyam (Nyi Ageng Padmonegoro). R.T. Padmonegoro pada masa mudanya adalah prajurit Mataram yang mengikuti Sultan Agung Hanyokrokusumo pada waktu melawan Kompeni (Belanda). Karena kepandaian dan keberaniannya dalam masalah perang, beliau dipercaya dan diangkat sebagai Bupati di Pekalongan.
Sejak dalam masa kandungan Nyi Ageng Padmonegoro, Yosodipuro sudah mengukir sejarah yang berbeda dengan yang lainnya. Sebelum bayi lahir, yang kelak diberi nama Bagus Banjar sudah memiliki tanda-tanda yang berbeda dengan bayi lain pada umumnya. Suatu hari di rumah kediamannya yaitu di Desa Pengging, R.T. Padmonegoro kedatangan sesepuh dari daerah Pedan yang mengaku sebagai Petinggi Palar yang mengatakan bahwa berdasarkan suatu nujum, kalau ada bayi yang lahir di hari Jumat Pahing maka akan membawa keberuntungan yang sangat baik. Kelak di kemudian hari, bayi tersebut akan memiliki kelebihan dari anak yang lainnya.
Usai subuh, Nyi Ageng Padmonegoro melahirkan seorang bayi laki-laki. R.T. Padmonegoro sangat gembira dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena keinginannya untuk mempunyai seorang anak laki-laki akhirnya terkabul.
Bayi itu lahir dalam keadaan masih terbungkus, dan kalung usus. Menurut kepercayaan, bayi yang pada waktu lahir lehernya berkalung usus, besok kalau besar akan selalu pantas, serasi, dan luwes dalam mengenakan pakaian. Usus yang melingkar dibenahi hingga terlepas, lalu dibersihkan.
Bayi mungil yang lahir pada tahun 1729 itu diberi nama Bagus Banjar. Karena Bagus Banjar lahir pada waktu subuh, maka ia juga dikenal dengan panggilan Jaka Subuh. Oleh kakeknya, Kyai Kalipah Caripu, bayi tersebut diberi nama Jaenal Ngalim untuk memperingati nama dari guru R.T. Padmonegoro ketika di Palembang, yang bernama Kyai Jaenal Abidin.
Setelah Banjar kecil menginjak usia 8 tahun, ia diantarkan Sang ayah ke suatu daerah, yaitu Bagelen, untuk berguru berbagai macam pengetahuan kepada Kyai Hanggamaya, sahabat karib kakek Bagus Banjar.
Bagus Banjar mendapatkan pelajaran menulis Jawa, menulis Arab, membaca buku-buku sastra dan Al-Qur’an, serta menjalani rukun Islam. Bagus Banjar tergolong cerdas, cakap, dan memiliki ketajaman berpikir. Sehingga, dalam waktu singkat mampu ia mampu menyelesaikan masa bergurunya. Pelajaran yang berat dan tinggi pun ia kuasai, seperti ilmu tentang dasar-dasar kebatinan yaitu bertapa dan melatih kesabaran dengan cara berpuasa mutih selama 40 hari, ngrowot (berpentang hanya dengan mengkonsumsi sayuran), ngebleng (puasa tidak makan, minum, dan aktivitas seksual selama 24 jam), ilmu kanuragan, dan lain-lain.
Pada usia 14 tahun, berakhirlah masa bergurunya. Bagus Banjar pulang ke Pengging dengan membawa berbagai ilmu. Sang Guru berharap pada saat kembali dalam kehidupan sehari-hari, Bagus Banjar dapat mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajarinya.
Pengabdian Bagus Banjar diawali di Kraton Kartasura, yang pada saat itu sedang terkena musibah besar, yaitu adanya Perang Cina (Pemberontakan Cina) tepatnya pada tahun Alip 1667.  Bagus Banjar menghadap Sang Prabu, Sri Paduka Kanjeng Susuhunan Paku Buwono (PB) II, dengan tujuan mengabdikan diri. Akhirnya, ia pun diterima oleh Sang Prabu. Pengabdiannya telah menunjukkan kecakapan dan keahlian, terutama dalam bidang sastra. Beliau sangat berjasa bagi kerajaan, hingga suatu saat Kraton Kartasura mengalami masa-masa pelik akibat Perang Cina yang harus terpaksa pindah istana. R. Ng. Yosodipuro I pula ikut berjasa dalam memilihkan tempat baru bagi istana, yaitu di antara Desa  Sala dan Desa Talawangi, tepatnya di sekitar Rawa Kedung Kol. Kelak istana tersebut diberi nama Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Setelah perpindah Kraton Kartasura ke Desa Sala, Yosodipuro diangkat menjadi abdi dalem kadipaten dan bertempat tinggal di bekas Kedung Kol (sampai sekarang kampong tersebut bernama Yosodipuran). Pengabdiannya ini terus dilakukan sampai pada masa pemerintahan PB IV dengan segala permasalahan pasang surut di istana.
Pada masa pemerintahan PB IV, diadakan pembaharuan perpustakaan kraton yang telah lama terbengkelai, tidak terurus akibat perang yang berlarut-larut. R. Ng. Yosodipuro I memulainya dengan menulis karya sastra sendiri dengan bahasa yang hidup, sarat dengan makna. Selain itu, menerjemahkan serat-serat karangan berbahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Jawa Baru, antara lain: Baratayuda, Ramayana, Arjuna Wiwaha, Harjunasasrabahu, Serat Rama, Serat Dewa Ruci, dan lain-lain. Beliau juga menerjemahkan karangan berbahasa Arab, seperti Kitab Menak dan Kitab Ambya.
Selain sebagai seorang pujangga, R. Ng. Yosodipuro I adalah seorang ulama, ahli strategi, dan pandai berdiplomasi masalah kenegaraan. Beliau sering menjadi tempat bertanya bagi siapa saja karena sifatnya begitu arif, bijaksana, kata-katanya lugu, lurus atau suka pada jalan yang benar dan membenci pada hal-hal yang buruk. Bahkan pendapat-pendapatnya selalu dibutuhkan oleh raja-raja pada masa itu. Dengan kata lain, beliau sering menjadi penasihat raja.
Setelah R. Ng. Yosodipuro I wafat, beliau dimakamkan di Desa Bendan, Kecamatan Bayudono, Kabupaten Boyolali. ***

Kepustakaan:
  • Mumpuni Nurhayati, 2008, R. Ng. Yosodipuro Pujangga Dalam Karya Sastra Jawa Modern, Karya Tulis.
Share:

Gereja Santa Perawan Maria Purworejo

Gereja Santa Perawan Maria Purworejo terletak di Jalan K.H. Wahid Hasyim No. 1 Purworejo, atau tepatnya berada di sebelah timur Bank Rakyat Indonesia.
Gereja ini didirikan pada tahun 1927 oleh Romo B.J.J.  Visser MSC. Awalnya, gereja ini hanyalah sebuah rumah berarsitektur Jawa yang dibangun pada tahun 1888. Rumah tersebut semula  digunakan oleh Dinas Pekerjaan Umum (DPU) atau BOW sebagai kantor, kemudian dibeli oleh Romo-romo Serikat Yesus. Dari bekas ruang gambar sebuah rumah tersebut, lalu dibentuk sedemikian rupa. Di dalamnya terdapat altar dilengkapi beberapa bangku dengan berbagai altar dilengkapi beberapa bangku dengan berbagai macam ukuran, deretan kursi, dan Jalan Salib sehingga merupakan sebuah gereja. Akhirnya, pada Selasa Kliwon, 25 Oktober 1927 diadakan misa pertama yang dilakukan oleh Romo-romo dari Tarekat Hati Kudus (MSC) di ruangan tersebut.


Misa pertama itu dilaksanakan sebanyak 2 kali pagi hari di gereja, dan 2 kali di rumah. Dalam misa tersebut dibagikan 20 komuni. Itulah saat kelahiran Paroki Purworejo, karena pada saat itu, secara resmi Purworejo telah diserahkan oleh Missionaris Serikat Yesus kepada Missionaris Tarekat Hati Kudus.
Penyerahan itu merupakan tindak lanjut dari Surat Keputusan dari Konggregasi Suci “Propaganda Fide” di Roma tertanggal 3 Desember 1926, yang isinya menetapkan para pastor dari Tarekat Hati Kudus (Missionarii Ss. Cordis/MSC) diserahi tugas missioner di wilayah Purworejo – Kedu Selatan (bekas Karesidenan Bagelen), daerah Karesidenan Banyumas, dan Pekalongan.


Lima tahun sejaka para romo MSC berkarya di Purworejo, jumlah umat Katholik terus meningkat dan bertambah banyak. Dari kenyataan itu, maka pada tanggal 15 Agustus 1932, saat Hari Raya Santa Perawan Maria diangkat ke surga bertepatan pula dengan Pesta Perak Imamat Romo M. de Lange MSC yang disambut dengan misa agung yang dipersembahkan oleh Yubilaris dengan Asistensi Pontifikal, Romo Dr. C. Damann, dilontarkan ide untuk mendirikan bangunan gereja baru menggantikan bangunan gereja yang sudah semakin tua dan tidak mampu lagi menampung umat yang melakukan ibadat.
Kontrak kerja pembangunan gereja baru dilakukan pada 6 Maret 1933 setelah dicapai kata sepakat dalam pembicaraan antara Romo M. de Lange MSC yang didampingi Romo H. Mannesse MSC dengan CV. Fermont Cuypers, sebagai pemborong bangunan.
Biaya pembangunan gereja disepakati sebesar 27.775 Gulden. Dana sebesar 9.649,13 Gulden dan 1.500 Gulden yang diperuntukkan khusus untuk altar adalah hasil kolekte umat di Purworejo, dan panitia juga menerima sumbangan dari Jakarta dari sebuah panitia sebesar 7.002,14 Gulden.
Peletakan batu pertama dilakukan pada 12 Maret 1933. Upacara dipimpin oleh Romo H. Mannesse MSC. Upacara dihadiri para suster, bruder dan umat Katholik Purworejo.
Setelah lima bulan berlalu sejak peletakan batu pertama, maka pada tanggal 13 Agustus 1933 pembangunan gedung gereja baru tersebut selesai dikerjakan.
Upacara peresmian dan pemberkatan dilakukan oleh Mgr B.J.J. Visser MSC dihadiri para pejabat pemerintah, Romo Gereja Baptist dari Missie Bureau, Romo Van Driessche, SJ dari Yogykarta dan segenap umat Katholik Purworejo. ***

Kepustakaan:
  • Radix Penadi (Penyusun Naskah Sejarah & Editor), 2002,  Kenangan Penuh Syukur 75 Tahun Paroki Santa Perawan Maria Purworejo, Purworejo: Paroki Santa Perawan Maria Purworejo.










                                                                                                                        
Share:

Solosche Radio Vereneging

Awal mulainya muncul radio di Indonesia, yaitu pada tahun 1930. Badan Pemerintah yang mengelola siaran radio kala itu adalah NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij). Siaran pada waktu itu masih terbatas pada lagu-lagu Barat yang umumnya didominasi oleh bahasa Belanda.
Dengan berdirinya NIROM tersebut, pihak Pura Mangkunegaran juga tidak mau ketinggalan. Salah satu paguyuban kesenian Mangkunegaran, yaitu Perkumpulan Karawitan Mardi Laras Mangkunegaran (PK2MN) diberi sender (transmitter) radio oleh KGPAA Mangkunegoro VII untuk menyiarkan klenengan (karawitan) paguyuban dan wayang orang dari Balekambang secara tetap (1932).


Karena sender tadi rusak termakan usia, salah seorang warga paguyuban, yaitu Ir. Sarsito Mangunkusumo, memiliki ide untuk membeli sender yang baru dan modern. Untuk mewujudkannya maka pada 1 April 1933 didirikan “Solosche Radio Vereneging” (SRV) atau Perkumpulan Radio Solo. SRV akhirnya membeli seperangkat alat siaran yang baru, dan mulai 5 Januari 1934 sudah bisa memulai siaran. Siarannya selain di daerah Jawa, dapat ditangkap di daerah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Atas bantuan Pepatih Dalem Mangkunegaran, KRMT. Sarwoko Mangunkusumo, studio SRV yang pertama menempati Pendopo Kepatihan Mangkunegaran yang berada di Jl. Ronggowarsito, yang sekarang digunakan sebagai Taman Kanak-Kanak (TK) Taman Putera.
Akhirnya, SRV dapat berkembang dan memiliki anggota yang banyak yang terdiri atas warga masyarakat. Atas bantuan dari warga pula, pada 15 September 1935 mulai dilakukan pembangunan studio di daerah Kestalan yang memiliki luas tanah sekitar 6000 m². Tanah seluas itu merupakan pemberian dari KGPAA Mangkunagoro VII. Studio SRV yang terletak di Jl. Marconi 1 (sekarang Jl. Abdul Rachman Saleh No. 51) akhirnya pada 29 Agustus 1936 diresmikan oleh putri Sri Paduka Mangkunagoro VII, Gusti Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoema Wardhani.


Setelah Indonesia merdeka, studio SRV ini menjadi Stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta. Bermula dari Perkumpulan Radio yang pertama di Indonesia, SRV bisa eksis dan memiliki gedung studio sendiri untuk siaran.
Sesudah SRV berdiri, pemerintah Kraton Kasunanan Surakarta juga berminat mendirikan stasiun radio. Stasiun radio yang didirikan oleh Kraton Kasunanan dinamai Siaran Radio Indonesia (SRI). Studionya bertempat di rumah Gusti Pangeran Harya Suryoamijoyo di Baluwarti.
Siaran SRV dan SRI kala itu menggunakan bahasa Jawa, karena memang awal berdirinya untuk menyaingi dominasi radio Belanda yang cenderung menampilkan budaya Barat, sebaliknya SRV dan SRI berkeinginan memajukan kebudayaan Jawa, khususnya karawitan dan pedalangan.
Setelah Indonesia merdeka, pemancar radio SRV berusaha diambilalih (nasionalisasi) oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang kelak menjadi Stasiun RRI Surakarta. Meski demikian, yang patut dicatat adalah SRV telah membuktikan diri sebagai pelopor timbulnya siaran usaha bangsa Indonesia jauh sebelum RRI didirikan. ***
Share:

Balai Soedjatmoko

Balai Soedjatmoko yang ada di Jalan Slamet Riyadi, Solo ternyata memiliki sejarah menarik. Soedjatmoko menjadi seorang tokoh penting hingga masa Orde Baru, kiprahnya mulai menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia (PIS), delegasi PBB, Konferensi Asia Afrika hingga sempat menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat.
Namun yang paling menggerakkan adalah aktivitas intelektualnya. Solo disebut-sebut menjadi tempat tinggalnya semasa pendudukan Jepang, dan di kota ini ia menekuni banyak wacana berbagai budaya. Bersama keluarganya, Soedjatmoko tinggal di bangunan yang kini menjadi situs bernama Balai Soedjatmoko.
Dulu, tempat ini adalah rumah ayah DR Soedjatmoko yaitu Prof. Dr. KRT. Mohammad Saleh Mangundiningrat. Dr. Saleh adalah seorang dokter Kraton Kasunanan Surakarta. Maka oleh Sri Susuhunan Paku Buwono (PB) X – seorang raja yang besar, kaya dan pintar - DR Saleh diberi sebuah rumah yang sekarang dikenal dengan nama Balai Soedjatmoko itu.


Saleh adalah di antara sedikit anak bangsa pada masa penjajahan yang bernasib baik. Setelah meraih gelar dokter (Indisch Arts) dari Stovia (School tot Opleiding Inlandsche Arts, Sekolah Dokter Pribumi) pada 1916, pada tahun 1929 meraih gelar doktor dalam Ilmu Kedokteran di Universitas Amsterdam dengan disertasi "Over Echinococcus" di bawah penyelia Prof. Dr. Noordenbosch. Siapa mengira pada masa itu, seorang Saleh kelahiran Balerejo, sebuah desa yang terletak antara Kota Madiun dan Ponorogo, akan berhasil meraih prestasi akademik tertinggi di Eropa, pada saat lebih 90 persen rakyat Indonesia masih hidup dalam keadaan buta huruf. Saleh, yang tak mau melibatkan dirinya dalam gerakan politik, baik di Negeri Belanda maupun di Tanah Air, telah mengabdikan ilmunya untuk kepentingan rakyat banyak, semula di Sawahlunto, seterusnya di Kediri, Surabaya, Manado, dan terakhir di Solo, sampai wafat.


Soedjatmoko lahir di Sawahlunto pada tahun 1922, namun pada tahun 1943 semasa pendudukan Jepang, ia pindah dan menetap di Solo, hingga wafat di Yogyakarta pada tahun 1989.
Kini, rumah tua yang dibangun pada zaman kolonial itu telah dibeli oleh Group KOMPAS GRAMEDIA untuk dijadikan Toko Buku Gramedia di Solo. Namun bangunan kuno tersebut tidak serta merta dihancurkan atau dirobohkan. Di tangan Jakob Oetama, pemilik Group KOMPAS GRAMEDIA, rumah tua itu direnovasi, dan dijadikanlah sebagai Balai Soedjatmoko. Jakob Oetama mengatakan bahwa penamaan Balai Soedjatmoko memiliki niat untuk pelestarian bangunan rumah dan melacak jejak teladan kecendekiawanan Soedjatmoko (1922-1989) yang pernah tinggal di Solo.
Akhirnya, pihak manajemen Gramedia Solo memfungsikan Balai Sudjatmoko sebagai pusat apresiasi baik pementasan, pertunjukan, pameran, bedah buku dan sarasehan. Para seniman juga diberi kesempatan luas untuk memanfaatkan Balai Sudjatmoko untuk melakukan apresiasi seni dalam bentuk pameran baik pameran lukisan, patung, kriya sampai dengan pameran pendidikan. Di samping itu, Balai ini juga dapat dijadikan sebagai alternatif wahana pembelajaran bagi orang non seni. ***

Share:

Klenteng Tien Kok Sie

Klenteng Tien Kok Sie terletak di Jalan R.E. Martadinata No. 12 Solo, atau tepatnya berada di selatan Pasar Gede Harjonagoro.
Pada awalnya, klenteng ini berada di Kartasura yang kemudian pindah ke Solo seiring dengan kepindahan kerajaan trah Mataram dari Kartasura ke Desa Sala (Surakarta). Klenteng ini didirikan bersamaan dengan pembangunan Kraton – yang kelak diberi nama Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat – pada tahun 1745.
Klenteng yang dikenal dengan nama Klenteng Tien Kok Sie ini juga dikenal sebagai Avalokhiteswara, tempat ibadah umat Tri Dharma (Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme). Bangunan Klenteng Tien Kok Sie kental dengan arsitektur Tiongkok yang memiliki ciri khas, megah dan kokoh, termasuk ornamen-ornamen di dalamnya.


Saat ini,  Klenteng Tien Kok Sie secara keseluruhan menempati lahan seluas ±250 m². Sebenarnya klenteng ini mempunyai beberapa bagian yang hilang karena sempat tak diketahui sejarahnya, dan termakan bagian sekitarnya. Namun, demikian masih ada beberapa bagian yang masih bisa disaksikan sampai sekarang, yaitu ruangan pelataran depan, Ruang Thia, Ruang Sien Bing dan bangunan rumah tangga penjaga klenteng.
Ruang Thia dan Ruang Sien Bing merupakan ruang pemujaan. Dalam ruang pemujaan terdapat beberapa altar dan meja untuk persembahan kepada dewa.
Lokasi Klenteng Tien Kok Sie yang berada di daerah “Pecinan Solo” membawa konsekuensi tersendiri bagi keberadaannya di tengah-tengah salah satu pusat perekonominan yang berada di Solo. Kondisi di sekitar Klenteng ini hampir selalu ramai setiap harinya. Di depan klenteng setiap harinya dilewati oleh ratusan kendaraan, bahkan di depan pintu masuk klenteng dijadikan tempat parkir mobil dan motor. Di sebelah kanan-kiri bangunan ini klenteng juga dipenuhi bangunan toko. Bangunan toko ini memiliki ketinggian bangunan yang melebihi tinggi klenteng, sehingga seolah-olah klenteng Tien Kok Sie ini terhimpit oleh bangunan di sekitarnya dan mengurangi nilai kesakralannya sebagai tempat ibadah. ***
Share:

Masjid Agung Al-Izhaar Kutoarjo

Kutoarjo merupakan salah satu wilayah kecamatan yang berada di Kabupaten Purworejo. Di antara semua kecamatan yang ada di Kabupaten Purworejo, Kutoarjo memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan yang lainnya. Bukan lantaran dari letak geografisnya namun juga dari sisi historisnya.
Secara historis, Kutoarjo sebelum bergabung ke dalam wilayah Purworejo pada tahun 1936, merupakan salah satu kabupaten yang berdiri sendiri di daerah Karesidenan Bagelen. Nama kabupatennya adalah Kabupaten Semawung, yang meliputi Bagelen bagian selatan dengan ibu kota Kutoarjo. Sehingga, pembangunan yang ada kala itu mirip dengan pola pembangunan yang berada di Kabupaten Purworejo. Kutoarjo memiliki alun-alun dan juga kemegahan Masjid Agung Al-Izhaar Kutoarjo.


Masjid Agung Al-Izhaar Kutoarjo dibangun pada 16 September 1887 di atas tanah wakaf K.H. Kastubi. K.H. Kastubi merupakan seorang penghulu yang berada di Kabupaten Semawung. Sejak diangkatnya K.H. Kastubi sebagai penghulu pada 1887, masalah pernikahan dapat terlayani bagi warga masyarakat Kutoarjo yang masih berdiri sendiri sebagai Kabupaten. Untuk urusan perceraian juga sudah ada pejabat yang menangani. Dari berbagai pelayanan yang sudah ada. Muncullah pengadilan agama (PA) cikal bakal PA Purworejo. Dalam sejarah di era K.H. Abu Bakar, keturunan dari K.H. Kastubi, di masjid tersebut sudah berlaku tatacara perceraian pasangan suami isteri secara sah, baik segi agama maupun pemerintahan.


Masjid Agung Al-Izhaar Kutoarjo yang masih berdiri kokoh dan megah ini terletak di daerah Kauman, Kelurahan Kutoarjo, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, atau tepatnya berada di sebelah barat alun-alun Kutoarjo. Berdasarkan ketuaan bangunan maupun sisi historis lainnya, masjid ini dimasukkan ke dalam benda cagar budaya tidak bergerak dengan nomor inventarisasi: 11-06/Pwr/TB/27. ***
Share:

Prasasti Sipater

Prasasti Sipater di temukan di Masjid Tiban Jenar Kidul yang terletak di Desa Jenar Kidul, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Prasasti ini ditemukan warga pada 28 Oktober 1980 di salah satu tembok bagian atas sebelah selatan masjid, yang semula untuk ganjal antara kayu atap dan tembok. Dibuat dari batu andesit dengan ukuran panjang 64 cm, lebar 38 cm, dan memiliki ketebalan 9 cm. Pada saat ini prasasti disimpan di Museum Tosan Aji Purworejo dengan nomor inventaris 432.2/IB.15.


Prasasti Sipater memakai bahasa dan aksara Jawa Kuna, dan diperkirakan prasasti ini dibuat pada zaman pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung pada sekitar abad 8 – 9 Masehi. 
Prasasti ini mengisahkan tentang pembuatan tanggul dan bendungan untuk meningkatkan hasil pertanian di tanah sima Desa Sipater. ***
Share:

Bedug Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo

Setelah Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo selesai dibangun, KRA. Cokronagoro I merasa belum puas tanpa adanya perangkat lainnya yang isitimewa dan hebat. Lalu, beliau menghendaki adanya bedug yang besar yang akan ditabuh sebagai pertanda adzan akan dikumandangkan untuk saatnya waktu shalat tiba.
Selanjutnya, beliau mengumpulkan para pejabat dan kerabat Kadipaten Purworejo untuk menyampaikan maksudnya untuk membuat bedug yang istimewa kepada para hadirin. RT Prawironagoro, Wedana Purwodadi, yang tidak lain adalah adik kandung beliau sendiri, menyanggupinya untuk membuat bedug besar yang bahannya sudah ada di daerah kekuasaannya, yaitu berupa tunggul atau bongkot kayu jati Pendowo, yang batang serta cabang-cabangnya sudah dipakai untuk tiang-tiang Masjid Agung dan Pendopo Kadipaten Purworejo, yang berada di Dusun Pendowo, Desa Bragolan, Kawedanan Purwodadi.


Semuangnya mufakat akan usulan dari RT Prawironegoro. Bedug besar harus dibuat dengan ukuran yang besar guna mengimbangi kebesaran Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo. Maka diputuskan agar segera dibuat bedug besar oleh RT Prawironegoro. Sedangkan, untuk kulit bedug besar diserahkan kepada Wedana Loano, yang di daerahnya banyak terdapat sapi besar jenis benggala atau ongale. Sedangkan nanti pengangkutannya diserahkan kepada kerabat Bupati. Ketika bedug besar tersebut selesai dibuat (selama 6 tahun), kerabat Bupati mulai berusaha mengangkut bedug tersebut namun ternyat tidak satupun sanggup untuk melaksanakan tugas tersebut.
RT Prawironegoro setelah berpikir, lalu memberanikan diri untuk mengusulkan kepada Sang Bupati, bahwa menantunya sendiri yang akan bersedia untuk menerima tugas memimpin pekerjaan tersebut. Adapun menantu Sang Tumenggung ialah seorang kyai atau na’ib dari Desa Solotihang, Loano, yang bernama KH. Muhammad Irsyad yang mempunyai kemampuan lebih daripada orang lain.
Akhirnya, Sang Bupati menyetujui. Lalu, oleh beliau diangkatlah dengan resmi KH. Muhammad Irsyad guna melaksanakan tugas berat tersebut. Dalam istilah Jawa disebut “Kasinengkakaken ing ngaluhur”, dari orang biasa menjadi orang terhormat yang mendapat kepercayaan dari KRA. Cokronagoro I. Karena tugas ini diberikan kepada orang luar kerabat Bupati, di mana hanya ada hubungan istrinya yang masih kerabat dalem, dalam istilah Jawa “sinered ing bengkung” (bengkung atau stagen adalah ikat pinggang wanita yang terbuat dari kain, untuk mengikat kain batik yang dipakainya).
Bedug yang saat ini dikenal sebagai Bedug Ageng Kyai Pendowo atau Kyai Bagelen, memiliki panjang 292 cm dengan diameter bagian depan 194 cm, diameter bagian belakang 180 cm, keliling bagian depan 601 cm, dan keliling lingkar bagian belakang 564 cm. Semula kulit penutup bedug bagian depan dan belakang terbuat dari kulit sapi ongale, namun pada tanggal 3 Mei 1936 bagian belakang diganti kulit lembu dari Desa Winong. Jadi hanya bagian depannya saja yang masih asli dari kulit sapi ongale.
Untuk memaku kulit bedug di bagian depan dipergunakan paku keeling sebanyak 112 buah. Bagian belakang dipergunakan paku keeling sebanyak 98 buah. Pada bulan Mei 1993, bagian belakang rusak lagi, dan diganti kulit lembu yang besar. Pembuatan bedug besar ini diperkirakan antara tahun 1834 hingga 1840 Masehi.
Diyakini hingga kini, hanya Bedug Ageng Kyai Pendowo atau Kyai Bagelen ini sajalah satu-satunya bedug yang mempunyai ukuran paling besar yang terbuat dari kayu jati utuh tanpa ada sambungan sedikitpun. Bahkan mungkin yang terbesar di Indonesia, boleh jadi di Asia Tenggara maupun seluruh dunia. ***  

Kepustakaan: 
  • HR Oteng Suherman, 2011, Kisah Masjid Agung Purworejo dengan Bedug Raksasanya, Purworej: PD Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Purworejo.
Share:

Maksuroh Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo

Maksuroh merupakan bangunan berbentuk bilik yang digunakan sebagai tempat shalat Jumat Bupati KRA. Cokronagoro. Bangunan ini sederhana tanpa ada ukiran, melambangkan kesederhanaan.
Setiap Bupati Purworejo yang memerintah sebelum kemerdekaan selalu mempergunakan maksuroh ini, namun setelah Proklamasi Kemerdekaan maksuroh ini tidak digunakan lagi. Sekarang dipakai untuk adzan setiap akan masuk waktu shalat. ***
Share:

Mimbar Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo

Mimbar khutbah yang berada di dalam Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo, bahannya berasal dari kayu jati Pendowo. Ornamen hias yang indah, dinding luar diberi kaca. Sedangkan, di samping kiri kanan diberi ornamen ukiran bermotif Kawungan dan bunga ceplok

.

Bagian muka atas dihias kaligrafi Arab yang bertuliskan kalimat tauhid, dengan tiang sepuluh buah. Di tengah tiang terukir hiasan piala dan buket bunga serta tulisan Arab: IMAM. Atap mimbar berbentuk limasan brunjungan dengan mustoko bunga teratai yang sedang mekar. ***
Share:

Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo

Harapan Kanjeng Raden Adipati (KRA) Cokronagoro I (Bupati pertama Purworejo) untuk membangun sarana ibadah bagi ummat Islam yang ada di Kota Purworejo, rupanya dapat segera terwujud, karena sarana bahan bangunan untuk pembuatan Masjid Agung sudah tersedia di wilayah alam Purworejo sendiri.
Untuk kebetuhan kayu, sudah tersedia pohon jati yang cukup banyak di Desa Bragolan, Onder Districht Purwodadi kala itu. Adapun yang menjadi Wedana Purwodadi adalah Raden Tumenggung Prawironagoro yang tiada lain adalah adik kandung Bupati KRA. Cokronagoro I.


Untuk umpak (landasan) dari tiang utama (sokoguru) masjid tersedia batu-batu persegi bekas yoni (pasangan lingga). Lingga dan yoni ini banyak ditemukan berserakan di sepanjang tepi Sungai Bogowonto, sehingga banyak pula yang dijadikan umpak rumah maupun masjid di daerah Purworejo, karena sudah tidak dipakai untuk pemujaan lagi.
Batu-batu fondasi banyak didapat dari sungai-sungai yang mengalir di sekitarnya. Batu kapur (gamping) dapat diperoleh dari Bukit Menoreh, serta batu bata merah dapat dengan mudah disediakan oleh masyarakat Purworejo.


Berbekal dari bahan-bahan yang tersedia tersebut, KRA Cokronagoro I segera memerintahkan kepada Ki Patih Cokrojoyo, yaitu Pepatih Dalem Kadipaten Purworejo untuk memulai membangun Masjid Agung dengan tiada henti-hentinya memohon kepada Allah SWT agar terlaksana dengan sebaik-baiknya, dan dapat menjadi sarana ibadah yang berharga bagi rakyat Kadipaten Purworejo sampai kelak kemudian hari. Konon, arsitek masjid ini adalah Khasan Muhammad Shuufi, seorang arsitek kenamaan pada masa itu.
Di atas tanah wakaf yang luasnya hampir 9.000 meter persegi, Masjid Agung Purworejo dibangun. Tercatat dalam Babad Kedhung Kebo, pembangunan Masjid Agung Purworejo dengan sengkalan “Guna Sad Giri Bumi” (Guna = 3, Sad = 6, Giri = 7, Bumi = 1). Berdasarkan kaidah bahasa Jawa, pembacaan sengkalan tersebut dimulai dari belakang. Jadi 3671 dibaca dari belakang menjadi 1763. Tahun Alip 1763 Jawa tersebut bertepatan dengan tanggal 16 April 1834 M.
Arsitektur bangunan Masjid Agung Purworejo meniru bentuk Masjid Agung Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, di mana sewaktu masih mengabdi menjadi Mantri Gladag di Kraton Kasunanan dengan nama Raden Ngabehi Resodiwiryo, sering melakukan ibadah di Masjid Agung Surakarta.
Bentuk bangunan tersebut, dalam Kitab Kawruh Kalang (Buku Ilmu Bangunan Jawa) disebut model Tajug Lawakan Lambang Teplok di mana tiang utamanya menopang langsung atap (brunjungan). Sedangkan, bangunan serambi menggunakan atap limasan yang disebut Limasan Trajumas.
Pada awalnya, ukuran Masjid Agung Purworejo adalah 21 m x 21 m, sedangkan serambi berukuran 8 m x 21 m. Tinggi brunjungan 23 m.
Tiang utama (sokoguru) ada 4 buah dengan ukuran 54 cm x 54 cm, dan tinggi 15 m, yang terbuat dari kayu jati Pendowo, dan berdiri di atas umpak yoni. Sedangkan, tiang pananggap (pembantu) berjumlah 12 buah ukuran 70 cm x 70 cm terbuat dari batu bata.
Bentuk atap brunjungan terdiri atas 3 tingkat, yaitu atap 1 (terbawah) disebut atap panitih, melambangkan syariah. Atap 2 disebut atap pananggap, melambangkan thoriqoh. Atap 3 disebut atap brunjung, melambangkan hakikat.
Puncak yang menjadi bagian tertinggi dari Masjid Agung Purworejo, dinamakan mustoko, yang melambangkan ma’rifat. Mustoko ini terbuat dari perunggu dengan hiasan Daun Kadaka Hutan yang dari jauh tampak seperti angsa yang menari.
Mihrab Masjid Agung dibuat kemudian, jauh setelah bangunan masjid selesai, yaitu tahun 1326 Hijriyah atau 1904 Masehi, dengan sengkalan berbentuk gambar hiasan pada lengkungan mihrab yang berbunyi “Pang Pinajang Srikaya Sagodhonge” (Pang, cabang = 6, Pinajang, dihias = 2, Srikaya, buah Srikaya = 3, dan Godhong, daun = 1).  Jika dibalik, membacanya menjadi 1326 (Hijriyah).
Pada masa pemerintahan Bupati Letkol H. Supantho (1975 – 1985), pada tahun 1976 – 1977 dilakukan renovasi serambi. Serambi yang berukuran 8 m x 21 m menjadi dua kali lipatnya, yaitu 16 m x 21 m. Atap Limasan Trajumas dirubah menjadi bentuk kubah, serta tampak depan yang jauh berbeda dari bentuk semula.
Selanjutnya pada pemerintahan Bupati Drs. H. Goernito (1990 – 2000) dan Sekwildanya dijabat oleh Drs. H. Soetarto Rachmat, yaitu pada tahun 1993 diadakan renovasi besar-besaran. Bangunan serambi diperluas lagi menjadi dua kali luas sebelumnya, kemudian atap kubah diganti dengan dua buah atap limasan. Tampak muka tetap seperti semula hanya dimajukan. Di halaman masjid, sebelah tenggara dibangun sebuah menara berbentuk tugu dengan dasar segi lima, melambangkan Pancasila. Tingginya sekitar 25 m.
Pada masa Kepala Kantor Departemen Agama dijabat oleh Drs. H. Mochammad Soeripto, dan Ketua Takmir Masjid Agung adalah K.H. Drs. M. Ghufron Faqih, dengan persetujuan para ‘alim ulama, Masjid Agung Purworejo diberi nama, yaitu Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo. Masjid ini berlokasi di Jalan Mayjen Sutoyo No. 81  Sindurjan, Purworejo.***


Kepustakaan:
  • HR Oteng Suherman, 2011, Kisah Masjid Agung Purworejo dengan Bedug Raksasanya, Purworej: PD Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Purworejo.
  • Paper Tugas Akhir di Jurusan Arsitektur FT UNDIP, dengan nama file: RIA_TAURINA_D.pdf.
  
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami