The Story of Indonesian Heritage

Masjid Kesultanan Ternate

Masjid Kesultanan Ternate merupakan masjid milik Kesultanan Ternate yang menjadi bukti sejarah yang kuat tentang masuknya Islam di daerah Ternate. Masyarakat setempat biasa menyebut dengan istilah Sigi Lamo. Sigi artinya masjid dan Lamo artinya besar, agung, mulia, dan luhur.
Masjid ini terletak di Jalan Sultan Babullah Kelurahan Soa Sio, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Lokasi masjid berada di sebelah selatan dari Kedaton Kesultanan Ternate yang jaraknya sekitar 100 meter.
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, Masjid Kesultanan Ternate diperkirakan telah dirintis sejak masa Sultan Zainal Abidin (1486-1500), namun ada juga yang beranggapan bahwa pendirian Masjid Sultan baru dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Hamzah (1627-1648), sultan Ternate ke-12 dihitung setelah kerajaan tersebut menjadi Islam (Dede Burhanudin, dkk., 2013: 205). Hingga sekarang, belum ditemukan angka valid sejak kapan sebetulnya Masjid Sultan Ternate didirikan. Namun, masyarakat setempat meyakini bahwa masjid tersebut telah berusia ratusan tahun lebih.


Sebagaimana Kesultanan Islam lainnya di Nusantara, Masjid Sultan Ternate dibangun di dekat Kedaton Sultan Ternate. Sekitar 50 meter dari masjid ini terdapat sebuah rumah kediaman Prins Muhammad (saudara Sultan Ternate, Iskandar Muhammad Djabir Syah) yang pernah dikunjungi oleh Alfred Russel Wallace, seorang peneliti berkebangsaan Inggris.
Posisi masjid ini tentu saja berkaitan dengan peran penting masjid dalam kehidupan beragama di Kesultanan Ternate. Tradisi atau ritual-ritual keagamaan yang diselenggarakan kesultanan selalu berpusat di masjid ini, termasuk untuk menjalankan ibadah salat berjamaah. Waktu-waktu yang digunakan Sultan untuk menunaikan salat berjamaah tersebut lebih dikenal dengan Jou Kolano Uci Sabea (Sultan turun bersembahyang) yang biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu seperti pada saat bulan Ramadhan, atau saat malam Lailatul Qadar, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pada waktu-waktu tersebut, ribuan umat Islam Kota Ternate selalu datang memenuhi halaman masjid hingga bagian halaman luarnya untuk menjalankan salat berjamaah bersama Sultan.


Masjid berukuran 22,40 x 39,30 meter dengan tinggi 21,74 meter ini, dibangun dengan komposisi bahan yang terbuat dari susunan batu dengan bahan perekat dari campuran kulit kayu pohon kalumpang. Atap masjid ditopang 4 tiang utama dan 12 tiang pembantu. Sementara arsitekturnya mengambil bentuk segi empat dengan atap berbentuk tumpang limas (tajug), di mana tiap tumpang dipenuhi dengan terali-terali berukir. Arsitektur ini nampaknya merupakan gaya arsitektur khas masjid-masjid awal di Nusantara, seperti halnya masjid-masjid pertama di tanah Jawa di mana atapnya tidak berbentuk kubah melainkan tajug.
Masjid ini pernah mengalami pemugaran yang dilakukan oleh pemerintah, atau dalam hal ini adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada tanggl 29 April 1982 dengan biaya APBN 1981/1982 sebesar Rp 200.000.000,- dan diresmikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Haryati Soebadio pada tanggal 15 Oktober 1983.
Sebagai tinggalan arkeologi Islam di Ternate, Masjid Kesultanan Ternate masih berdiri kokoh dan megah sampai sekarang, dan telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya (BCB) yang harus dilestarikan dan dilindungi. Sesuai dengan pesan yang ada di papan depan masjid, “Ini Torang Punya Jaga Bae-Bae.” (Ini Punya Kita Semua, Jadi Dijaga Yang Baik). *** [161014]
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami